Minggu, 17 Mei 2015

...



Bunga yang Tak Kunjung Mekar

Siang menjelang. Matahari bertengger dengan angkuhnya tepat di atas langit ibukota. Pancaran panasnya sangat terasa menyengat kulit.

Gadis itu berjalan menyusuri koridor rumah sakit dengan pandangan lesu. Ya, gadis ini memang lelah. Ia berhenti sejenak, menundukkan sedikit wajahnya menghadap ke arah ubin lantai. Astaga! Berantakkan sekali mukanya saat ini. Ia tak mampu menahan rasa geli melihat wajahnya sendiri pada saat ini. Peluh menyecer tak karuan di wajah putihnya. Ingin rasanya ia lap semua peluh itu dengan jas dokter yang ia kenakan saat ini. Namun ia urungkan niatnya itu karena takut akan mengotori jas dokternya --mengingat betapa putih jas itu. Ia menghiraukan peluh – peluh itu dan memilih untuk segera melanjutkan perjalanannya yang tertunda, menuju ruang kerjanya. Lagi, gadis itu berjalan dengan lamunannya.
Gadis itu lelah memikirkan masalah – masalah dengan saudara kembarnya. Ya, ia mepunyai kakak kembaran, namanya Alina. Ia membenci saudaranya itu. Sangat benci. Mengapa? Entahlah.

 BRUK!!!

“Aww!” pekik gadis itu –Alisa. Ia meringis sambil mengusap pantatnya yang terpental ke lantai. Tatapannya miris akan kejadian yang baru saja menimpanya. Ia mengucapkan sumpah serapah berulang kali seolah – olah itu adalah hal yang biasa ia ucapkan. Pria yang ditabraknya mengangkat alis, sedikit ‘kagum’ dengan sumpah serapah yang Alisa ucapkan. Sungguh, gadis semanis dia mengucapkan sumpah serapah yang bahkan tak pantas diucapkan oleh seorang gadis.

“Fachri kamu itu super duper nyebelin tau ga?!” maki Alisa. Ia melotot sambil berkacak pinggang. Mata yang sebenarnya sipit dipaksa melotot supaya Facri takut. Alih – alih takut, Fachri justru tertawa terbahak – bahak, bahkan sampai memegang perutnya yang sakit akibat tawanya yang berlebihan. Alisa memajukan bibirnya pertanda ia kesal dengan Fachri karena telah menertawakannya. Sadar akan hal itu, Fachri langsung menghentikan tawanya.

“Oke – oke maaf. Mau sushi Nona Alisa?” tawar Fachri dengan lembut lengkap dengan sebuah senyuman manisnya. Seketikan mata Alisa berbinar – binar mendengar tawaran yang begitu menggiurkan baginya itu.
“Mau bangettt!!!” seru Alisa semangat.

Seperti biasa, Fachri bisa mengubah mood Alisa hanya dengan mentraktirnya sushi. Akhirnya mereka makan siang di kedai sushi dekan rumah sakit tempat mereka bekerja sebagai dokter.
Saat sedang asyik bercengkerama, tiba – tiba ponsel Alisa berdering dengan nyaringnya. Sebuah panggilan masuk. Ia pun mengangkatnya dengan sedikit malas. Merasa terganggu.

“Halo?” sapa Alisa
“Alisa! Plis dateng.. pasien Dokter Saufi kritis dan beliau lagi ga ada di tempat!” terdengar suara panik dari seberang sana.
“Oke gue ke sana sekarang.” Kata Alisa cepat dan langsung mematikan sambungan teleponnya. Ia berbalik menatap Fachri. Tak enak hati harus meninggalkannya.
“Gue harus ke rumah sakit sekarang Fachri. Ada emergency.” Kata Alisa. Fachri hanya bisa mengangguk tanpa tau harus berbuat apa. Tetapi setelah Alisa pergi, ia pun memutuskan untuk pergi juga menyusul gadis itu. Gadis yang diam – diam telah menyita perhatiannya. Gadis yang diam – diam Fachri suka. Tetapi masalahnya, gadis itu hanya menganggap Fachri sebatas sahabat baik, tidak lebih, tidak juga kurang.

                Sesampainya di rumah sakit, Alisa hanya menatap miris pasiennya. Dia masih muda dan... tampan. Sementara, Alina—gadis yang menelepon Alisa tadi, hanya bisa menghelakan nafas beratnya. Kakak beradik itu turut prihatin.

“Sangat disayangkan orang semuda dan setampan dia harus sekarat karena over dosis zak adiktif. Gue ngebayanginnya aja udah ngeri.” Ujar Alina sambil mengulurkan sebuah suntikan kepada Alisa. Alisa menerima dengan acuh. Kemudian ia menyuntikannya ke urat nadi pasien itu.

“Oke baiklah siapa nama Anda tuan malang?” tanya Alina sambil mengambil buku laporan yang disodorkan oleh salah satu perawat. Alina terkejut melihat nama pasien itu.
 
Nama : Alvin Jo
Hah?  Itu Alvin? Alvin sahabat SMA Alina dulu? Benarkah? Tetapi memang itu benar nama lengkap Alvin, sahabat Alina. Entahlah. Alina mengerjapkan matanya beberapa kali, memastikan bahwa penglihatannya tidak salah. Tetap tak ada perubahan pada sederet tulisan nama itu. Alina tak salah lihat.  Alina juga tak asing dengan wajah itu. Alina bingung, terpaksa ia harus memendam rasa ingin tahunya sendiri. Sebab tak tahu harus bertanya kepada siapa.

“Apa harus tanya Rio ya?”
“Gak gak! Sekarang dia kan benci sama gue. Ntar kalau dia malah bentak – bentak gue lagi gimana? Duh Rio Rio, kenapa sih lo berubah? Tapi kalau ga Rio, siapa lagi? Sahabat Alvin dulu kan Cuma gue sama Rio. Tau deh bingung.”
batin Alina sambil menggelengkan kepalanya, berusaha untuk membuang rasa penasarannya yang sangat besar itu.

Ketika keadaan pasien itu mulai stabil, Alina segera menaruh peralatan medis ke tempatnya dan bergegas meninggalkan ruang rawat tersebut. Berbeda dengan kakak kembarnya, Alisa lebih memilih untuk tinggal sejenak. Ia menatap lekat pria muda yang sedang terbaring lemah itu. Entah kenapa matanya betah sekali menatap wajah tampan itu.

“Nama kamu Alvin Jo? Keren.” Komentarnya singkat.
“Kamu nge-drugs? Kenapa? Udah ga sayang sama nyawa lagi ya? Mending buat adikku aja. Dia meninggal satu tahun yang lalu. Dia ganteng loh, sayangnya dia sakit leukimia genetic keturunan dari mamaku. Dia pengen hidup lebih lama, sementara kamu? Make obat terlarang itu? Bodoh!” Alisa masih terus mengatakan hal apa saja yang ingin ia katakan. Walaupun ia tau pasti sang pasien tidak akan menggubrisnya.
Setelah puas mengobrol dengan Alvin --lebih tepatnya berbicara sendiri karena sang lawan bicara tak  kunjung meresponnya sedikitpun. Alisa memutuskan untuk segera keluar dari ruang rawat Alvin. Ia merasa tak enak berlama – lama di ruang rawat Alvin itu karena takut akan mengganggu tidur panjang Alvin dengan ocehan – ocehan tak jelasnya.

Alisa menyusuri koridor rumah sakit dengan memainkan ponselnya.

BRUK!!!

Ia terkejut saat tiba – tiba ponselnya terjun ke lantai. Dengan spontan ia pun berjongkok untuk mengambil ponselnya yang bernasib malang. Ketika mendongak hendak melihat siapa korban tabraknya kali ini, alih – alih mengucapkan kata maaf, Alisa malah menatap sinis orang itu.

“Rio? Ngapain ke sini?” tanya Alisa skeptis. Pria yang dipanggil Rio itu acuh lalu pergi meninggalkannya. Alisa geram atas kelakuan pria yang merupakan mantan kekasihnya itu. Ia menarik paksa tangan Rio, menyuruhnya agar berhadapan dengan gadis manis nan mungil ini.

“Ngapain? Mau ketemu kakak lo, Alina. Oh iya kalau jalan tolong jangan sambil mainan hp.” Ucap pria  itu dengan ketus dan langsung melenggang pergi.
Alisa terpaku dalam tempatnya ketika mendengar perkataan Rio. Aish. Apa katanya? Mau ketemu Alina? Mendadak ia menahan nafas, berusaha mengontrol emosinya yang siap meluap kapan saja. Lagi – lagi Alina. Menyebalkan.

Alisa melanjutkan jalannya. Ia berjalan dengan kesal karena pria itu. Alisa kembali ke ruangannya, mengambil sebuah buku pasien. Ia memutuskan untuk berkeliling saja, mengecek keadaan pasien – pasiennya agar rasa kesalnya sedikit terlupakan. Ia tersenyum lebar ketika mendapati keadaan para pasiennya semakin membaik. Alisa terus memeriksa pasiennya, dari pasien satu ke pasien yang lain lengkap dengan nasihat – nasihat khas dokter.

Langkahnya terhenti di depan ruang kamar inap bernomor 101. Ia melongok ke arah kamar itu dan semakin mendekatkan dirinya. Terlihat jelas pria yang berbalut peralatan medis itu mengerang kesakitan. Tiba – tiba tubuhnya menggigil hebat, keapalanya menggeleng kuat spertinya pria itu mencoba menolak rasa sakit yang menyerangnya. Perlahan tapi pasti tubuhnya meminta lagi.

Dengan langkah tergesa Alisa masuk ke dalam ruangan itu dan entah kenapa ia langsung memegang bahu Alvin, membuat Alvin mendongak dan bertatap muka dengannya.
Alisa tertegun menatap wajah tampan penuh derita itu. Mata Alvin yang sangat jujur menurutnya. Ia tak bosan menatap mata itu, mata yang jujur penuh dengan kesakitan yang mendalam. Kenapa dengan dirimu? Apa yang menyiksamu? Mengapa pancaran mata itu bagaikan sosok yang tersakiti?

“Maaf.” Sesal Alisa dan langsung melepaskan tangannya dari bahu Alvin.
“Kamu gak papa?” tanya Alisa lembut.
“O..bat.” lirih Alvin sambil memeluk tubuhnya yang panas dingin.
“Gak! Gak boleh! Kamu harus sembuh.” Teriak Alisa sambil berangsur menjauhi tubuh Alvin. Ia tau apa yang diinginkan pria itu. Satu obat. Obat yang menjadi jalannya menuju neraka. Obat jahat yang akan membunuh semua orang dengan menggenaskan bagi pemakainya. Narkoba.
“To..longin gue.” Pinta Alvin dengan sungguh. Pria itu merasa seperti melihat masa depannya dengan berada di dekat gadis ini.

Alisa menggeleng keras. Kali ini ia menutup mulutnya menahan isak tangis. Apalagi ini? Mengapa rasanya sakit saat melihat pria itu tersiksa? Ini seperti radar. Radar yang tak tau asal - usulnya dan masih menjadi teka – teki. Saat ini Alisa tak tau harus berbuat apa, meskipun ia seorang dokter. Ia tak bisa menangani pasien dengan keadaannya yang sekacau ini. Sungguh, ia benar – benar tak bisa.

“Alisa?” terdengar suara lembut menggelitiki telinga Alisa. Ia kenal dengan suara itu. Bahkan sangat hafal.. ya, itu suara kakak kembarnya, Alina.
“Alvin kenapa Lis? Kok kamu di sini?” tanya Alina bertubi. Alisa bergeming, menutup mulutnya semakin erat. Oh kakakku! Sudah berapa lama kita tak saling bertegur sapa seperti ini? Bahkan saat ini aku masih tetap mengacuhkanmu?

Alina berjalan mendekati Alisa dan Alvin. Alina membelalakkan mata ketika melihat Alvin benar – benar kacau saat ini. Ya, akhirnya mereka bisa melihat secara langsung bukti nyata pengaruh obat haram itu.

“Di...Dia tubuhnya nagih Lin.” Ucap Alisa sambil mundur teratur ia hampir tak bisa menahan tangisnya ketika menjawab pertanyaan Alina. Kakaknya itu benar – benar berhati malaikat. Bahkan tak merasa canggung saat berbicara dengannya? Hatinya mencelos, menyadari kesalahannya. Bukankah aku sangat jahat telah menyia – nyiakan saudara sepertimu Alina? Bahkan kau tak pernah membenciku saat aku benar – benar membencimu.

“Alina..maaf.” ujar Alisa tulus. Saat ini ia sudah tidak bisa lagi menahan isak tangisnya. Pertahanannya jebol. Ia sesenggukan.
“Gak masalah kok. Aku udah maafin kamu jauh sebelum hari ini.” Jawab Alina lembut. Ia tersenyum kepada Alisa. Mereka berpelukan. Melebur rasa antipati antar sesama.

“ARRRGGHHH..”

Erangan Alvin yang tiba – tiba, berhasil mencuri perhatian dua kakak beradik itu. Mereka melepaskan pelukan hangat itu dan segera menangani Alvin yang semakin kesakitan. Alina memberi obat penenang kepada Alvin melalui suntikan. Beberapa menit kemudian Alvin kembali tenang.

“Vin, rehab ya.” kata Alina lembut sambil mengusap bahu Alvin. Yang diusap justru seperti merasakan de javu sebelum Alvin benar – benar melihat siapa yang mengusapnya. Alvin mencoba mengingat siapa gadis ini? Astaga! Dia Alina-kah? Sahabat yang selalu menghibur dan menemani Alvin ketika dulu harus menerima kenyataan bahwa orang tuanya bercerai?

“Alina?” tanya Alvin memastikaan dugaannya. Hanya satu kata yang mampu mebuat Alina langsung memeluk Alvin.
“Vin!” pekik Alina dengan semangat. Alina menangis dalam dekapan sahabat semasa SMA-nya itu. Alvin mengelus punggung Alina layaknya seorang sahabat. Hati Alvin benar – benar bergelora merasakan Alina dalam dekapannya, penyemangat hidup Alvin telah kembali.

Alisa menatap nanar adegan yang dilakoni Alina dan Alvin. Ada sesuatu yang menberontak saat ini. Sesuatu yang menjadi pelengkap hidupnya, hati Alisa.
***
NOTES : Gak tau ya ini ceritanya sih cerpen tugas bahasa indonesia gitu.. Tapi ga jelas gitu :v Gabisa buat beginian yaudah gitu aja-_- 
Made by me. Edited by me. Posted by me. Eeq:v

Tidak ada komentar:

Posting Komentar